vipdomino99.info Partner Sejati Untuk Permainan Kartu Anda :) SELAMAT DATANG DI SITUS POKER ONLINE DENGAN PELAYANAN TERBAIK SE-ASIA | STATUS BANK : BCA - ONLINE| MANDIRI - ONLINE | BNI - ONLINE | BRI - ONLINE | DANAMON - ONLINE | PANIN - ONLINE | PERMATA - ONLINE | Untuk LOGIN SITE Di HP Menggunakan Link : vipdomino99.biz / vipdomino99.org

Header Ads

The LEGEND of Pak WONGSO (伯王梭, Bó Wángsuō)



Orang- orang tua yang pernah merasakan hidup di zaman kolonial Belanda, pastilah pernah mendengar nama Pak Wongso (dalam foto-foto lama tertulis Pah Wongso). Wongso termasuk tokoh Legendaris di daerah Pecinan.

Wongso adalah seorang keturunan Belanda. Pada masanya, tahun 1940-an, dia mendirikan panti sosial (Sekolah). Banyak anak kecil yang dianggap nakal oleh orangtuanya, dititipkan di kediamannya untuk dididik menjadi orang berguna. Setelah mendapat gemblengan Pak Wongso, biasanya mereka tumbuh jadi orang berhasil. Pak Wongso juga banyak memperhatikan orang terlantar. Mereka diperkenankan tinggal di rumahnya.


Louis Victor Wijnhamer (lahir di Tegal, Hindia Belanda, 11 Februari 1904 – meninggal 13 Mei 1975, pada umur 71 tahun), yang lebih dikenal sebagai Pah Wongso (Hanzi: 伯王梭; Pinyin: Bó Wángsuō), adalah seorang pekerja sosial terkenal pada masyarakat etnis Tionghoa di Hindia Belanda dan kemudian Indonesia. Menempuh pendidikan di Semarang dan Surabaya, Pah Wongso memulai pekerjaan sosialnya pada awal 1930-an, menggunakan seni tradisional seperti wayang golek untuk mempromosikan monogami dan abstinensi. Pada 1938, ia mendirikan sebuah sekolah untuk orang miskin dan mengumpulkan uang untuk Palang Merah untuk dikirimkan ke China.

Pada akhir 1938, Pah Wongso menggunakan sebuah yayasan pertahanan hukum, yang mengumpulkan uang untuk dirinya ketika ia dituduh dengan tuduhan pemerasan, dalam rangka untuk mendirikan sekolah lainnya; pendirian sekolah tersebut disusul dengan pendirian sebuah pusat pelatihan pekerja pada 1939. Pada 1941, Star Film merilis dua film yang dibintangi olehnya dan menampilkan namanya pada judul kedua film tersebut. Pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda, Pah Wongso dibawa ke serangkaian kamp konsentrasi di Asia Tenggara. Ia kembali ke Nusantara yang telah merdeka pada 1948, mengumpulkan sumbangan untuk Palang Merah, dan menjalankan sebuah tempat pelatihan pekerja sampai kematiannya.

Louis Victor Wijnhamer lahir pada 11 Februari 1904 di Tegal, Jawa Tengah, Hindia Belanda. Sebagai salah satu anak dari tiga bersaudara, Wijnhamer lahir dari seorang administrator beretnis Belanda di Surabaya, Louis Gregorius Wijnhamer dan J. F. Ihnen; ia merupakan keturunan Indo. Ia menempuh pendidikan di sekolah menengah atas di Semarang, sebelum menjalani beberapa waktu di Suikerschool di Surabaya, kemudian pergi ke Batavia (sekarang Jakarta). Antara 1927 dan 1937, ia bekerja sebagai seorang amanuensis di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen.

Pada awal 1930-an, Wijnhamer, yang disebut sebagai Pah Wongso, dikenal di Jawa Barat karena karya-karya sosialnya yakni mempromosikan monogami dan kepercayaan dalam pengobatan barat, serta perlawanan terhadap perjudian, penggunaan candu, dan minuman keras. Dalam penyampaian pesan-pesannya, ia sering menggunakan wayang golek Sunda (sebuah bentuk dari boneka bayangan), karena masyarakat lokal umumnya tidak dapat membaca. Ia dapat berbicara dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa, dan sedikit dapat berbicara dalam bahasa Tionghoa dan Jepang. Karya sosial tersebut umumnya dilakukan oleh Pah Wongso pada saat ia masih bekerja sebagai penjual kacang goreng.

Pada 1938, Pah Wongso menikah dengan seorang wanita beretnis Tionghoa dan membuka sebuah sekolah untuk anak-anak miskin yang sebagian besar keturunan campuran Tionghoa, di Gang Patikee; sekolah tersebut menerima pemasukan melalui sumbangan. Ia juga menjadi anggota Palang Merah cabang Hindia Belanda, dan dikenal karena karya kemanusiaannya. Ia menyelenggarakan pameran-pameran malam di berbagai kota di Hindia Belanda (termasuk di Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya), mengadakan lelang dengan menjual minuman dan makanan ringan dalam rangka mengumpulkan uang untuk China, yang sedang bertarung melawan Jepang.

Setelah salah satu pameran tersebut, di Yogyakarta, Pah Wongso ditangkap atas tuduhan menulis sebuah surat ancaman kepada Liem Tek Hien, yang menolak membayar sebuah tongkat berjalan dengan harga f. 10 yang ia katakan tidak dibelinya, dan ditahan di Penjara Struiswijk di Batavia. Ia dituduh dengan tuduhan "berupaya memeras dan perkataan tidak menyenangkan". Kasus tersebut menjadi sorotan bagi kalangan etnis Tionghoa di Hindia Belanda, dan majalah Keng Po dibentuk untuk mengumpulkan sumbangan ganti rugi untuk Pah Wongso, yang terkumpul lebih dari f. 1,300 pada pertengahan Juni 1938; sumbangan tersebut bertambah menjadi f. 2,000 pada akhir bulan. Kasus tersebut dibawa ke pengadilan pada 24 Juni 1938. Meskipun Liem menyesal telah melaporkan Wongso ke polisi, terdakwa diberi hukuman dua bulan penjara, sementara pembela meminta agar ia dibebaskan, atau waktu melakukan pelayanan.

Secara ultimatum, pada 28 Juni 1938 hakim memberikan hukuman satu bulan penjara – setara dengan waktu Pah Wongso melakukan pelayanan – dan ia dibebaskan. Pah Wongso mengajukan banding atas hukumannya, meminta untuk dibebaskan pada Agustus 1938 hukumannya dikurangi menjadi ganti rugi sebanyak 25 sen. Sumbangan ganti rugi yang dikumpulkan oleh Keng Po, yang berjumlah sebanyak f. 3,500 pada Agustus, dialihkan untuk pembangunan sebuah sekolah pada 8 Agustus 1938, sekolah Pah Wongso Crèches untuk pemuda miskin dibuka di 20 Blandongan St. di Batavia. Pada akhir tahun tersebut, Wongso ikut dalam sebuah gerakan melawan penggunaan candu dan tampil dalam sebuah edisi khusus Fu Len.

Pada 1939, Pah Wongso membuka sekolahnya di Blandongan yang meliputi sebuah tempat pelatihan pekerja. Didirikan dengan f. 1,000, tempat pelatihan pekerja tersebut terletak di depan sekolah tersebut dan pada November 1939, tempat tersebut telah melatih 22 pencari kerja. Selain itu, Pah Wongso Crèches diurus lebih dari 200 pelajar beretnis Tionghoa dan pribumi. Ia melanjutkan pidato menentang kondisi pekerja di Hindia Belanda dengan memberikan sebuah ceramah kepada 1,000 penonton di Queens Theatre di Batavia pada Oktober 1939. Ia masih sangat dikenal di kalangan beretnis Tionghoa.


Pada 1941, Star Film membuat dua film yang dibintangi oleh Pah Wongso, dalam rangka menaikkan ketenarannya. Film yang pertama, Pah Wongso Pendekar Boediman, menampilkannya sebagai seorang penjual kacang yang menyelidiki pembunuhan seorang haji kaya. Film tersebut ketenaran, meskipun menurut jurnalis Saeroen menyatakan bahwa ketenaran tersebut terjadi karena Pah Wongso sudah terkenal lebih dulu di masyarakat Tionghoa. Film keduanya, sebuah film komedi yang berjudul Pah Wongso Tersangka, menampilkan Pah Wongso sebagai seorang terdakwa dalam sebuah penyelidikan dan dibebaskan pada Desember 1941. Berdasarkan pada tulisan dalam majalah Pertjatoeran Doenia dan Film, "S." memuji pengenalan komedi pada industri film Hindia Belanda, dan menyatakan harapan agar film tersebut dapat "membikin orang tertawa terpingkal-pingkal"


Pada Maret 1942, Kekaisaran Jepang menduduki Hindia Belanda. Pah Wongso ditangkap di Bandung pada 8 Maret dan menjalani tiga tahun dalam serangkaian kamp konsentrasi di Asia Tenggara, yakni di Thailand, Singapura, dan Malaya. Ia kembali ke Nusantara yang telah merdeka dan dikenal sebagai Indonesia pada 1948, mendirikan pusat sosial "Tulung Menulung", dan bekerja pada Bond Motors cabang Jakarta. Pada pertengahan 1950an, ia bertemu dengan Presiden Sukarno. Pada 1957, sebuah biografi Pah Wongso dijual. Ia dan istrinya Gouw Tan Nio (yang juga dikenal sebagai Leny Wijnhamer) mendapatkan anak kelima mereka pada 3 Februari 1955.

Wongso melanjutkan pengumpulan uang untuk Palang Merah dengan menjual kacang goreng. Ia juga melanjutkan pengoperasian sekolahnya di Blandongan serta tempat pelatihan pekerja, di mana para pria dan wanita muda dilatih untuk pekerjaan-pekerjaan seperti pekerja rumah tangga, pekerja kebun, dan pelayan hotel, kemudian ditempatkan untuk bekerja. Beberapa murid Pah Wongso datang dari pulau-pulau selain Jawa. De Nieuwsgier memberikan sebuah cerita tentang seorang pria muda dari Bengkulu yang datang ke Jawa untuk belajar, semua barangnya dirampok ketika di Jakarta, kemudian dibantu oleh Pah Wongso untuk menemukan pekerjaan.

Wongso melanjutkan pengoperasian sekolah dan tempat pelatihan pekerja miliknya di bawah naungan Yayasan Pah Wongso pada 1970an. Ia menyatakan bahwa yayasannya telah membuat 1,000 wanita muda dan 11,000 pria muda mendapatkan pekerjaan. Iklan-iklan disebarkan di tempat-tempat buruh yang dikeluarkan dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda. Institusi tersebut juga menyediakan pelayanan percetakan; menulis tulisan-tulisan dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Indonesia dan menampilkan wayang dengan empat jenis boneka. Pah Wongso meninggal di Jakarta pada tanggal 13 Mei 1975.

No comments

Powered by Blogger.